Lamunanku
Ku duduk termenung dengan pandangan
kosong lurus kedepan. Telingaku menangkap suara orang hilir mudik, fikiranku
entah kemana. Tanganku memainkan pulpen diatas tumpukan kertas. Dan kemudian ku
pandangi buku catatan diary-ku yang lusuh, sedari SD aku sudah menyukai
dan nyaman dalam dunia tulis menulis, apa yang terjadi dalam hidupku ku abadikan dengan pulpen
dan kertas ini. Semua tercatat, dan tersusun rapi, lembaran-lembaran kertas itu
ku beri nama ‘didy’. Yang senantiasa menjadi tempatku mengadu keduaku setelah
Allah.
Kali ini lamunanku tentang ‘masa depanku’.
Akan jadi apa nanti aku ketika status ‘pelajar’ sudah berakhir? Akan lanjut
kemana? Apa aku akan terus mengikuti alur hidup ini tanpa pegangan, ibarat
berada diatas kapal pasti akan terjatuh ketika kapal dihantam ombak
besar.
Akankah aku tetap berada dalam zona
nyamanku? Tak selamanya aku akan berada dalam dekapan umi abiku. Aku harus
keluar dari zona nyaman, menghadapi dunia yang besar dan kejam, kehidupan
diluar sana jauh lebih keras.
Pernah sekali, aku keluar malam,
sendiri. Menyusuri jalan raya yang besar, kendaraan-kendaraan melaju dengan
kecepatan tinggi, tak peduli disini ada seorang remaja yang merasa takut,
merasa tak aman berada diluar sendirian. Jalanan tampak tak peduli denganku,
orang-orang kadang menatapku, tatapan yang membuatku takut, aku tak mampu
mengartikan arti tatapan itu.
Ku susuri jalanan yang hanya diterangi
lampu kuning, remang-remang. Ku lirik arlojiku, sudah pukul 9.00 p.m dan aku
harus segera tiba di rumah, dengan tergesa dan was-was ku laju kendaraanku
dengan kecepatan umum. Jujur, aku takut berada dalam tempat yang gelap. Bukan
hantu yang kutakutkan, tapi seseorang yang berniat jahat. Aku merasa tak aman.
Aku hanya seorang perempuan, aku butuh
pelindung. Bagaimana nanti setelah aku lepas dari status ‘pelajar’? Bagaimana
nanti ketika aku terjun dalam dunia perantauan? Mampukah aku menjaga diriku
sendiri? Tak selamanya umi abiku menjaga dan melindungiku. Akan ada masa dimana
aku yang harus menjaga mereka, melindungi mereka. Membalas kasih sayangnya
selama ini, walaupun pasti tak terbalaskan semuanya.
Tapi, setidaknya aku mampu membuat
mereka bahagia dimasa tuanya. Aku ingin mengukir senyum diwajah orang tuaku,
aku ingin meraka bangga mempunyai anak sepertiku. Tapi apa bisa? “Bisa, Nisa
pasti bisa”. Dan lagi-lagi aku tak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
memenuhi otakku, aku hanya mampu tersenyum kecut ketika pertanyaan itu meminta
jawabannya.
Tuhan, tolong kuatkan diriku ini, aku
ingin menjadi kuat. Setidaknya mampu menjaga diriku dan keluargaku. Bukan hanya
hebat dalam hal bela diri, namun hebat mental dan iman. Supaya aku mampu
menghadapi ujian dariMu tanpa putus asa.
Kirimkanku juga sahabat dalam menapaki
masa depan, sahabat hidup sejati, yang mau jatuh bangun bersama. Sahabat sekaligus
kekasih hati, yang nanti akan saling membantu, saling menjaga, saling
menyayangi, saling memberi dan saling memotivasi.
Jujur, jiwaku terlalu lemah ketika
diterjang masalah, maka dari itu, aku ingin dia yang mampu memotivasiku. Dan aku
akan memotivasi dia ketika dia membutuhkan motivasi. Bukan begitu yang namanya
sahabat hidup seperjalanan?
Saling membawa ‘cahaya’ dan berjalan
melewati lorong panjang yang kadang gelap, menuju masa depan yang cerah. Dan ketika
di tengah lorong yang gelap, salah satu dari kami terjatuh, maka salah satu
dari kamu akan senantiasa membantu bangkit dan berjalan selangkah demi
selangkah, beriringan hingga mencapai kesuksesan bersama. Susah, bahagia, jatuh
dan bangun bersama.
Hidup
sebenarnya sangat indah, apalagi ketika ada yang mampu menemani untuk
melewatinya. Walau harus menangis bersama tetapi bukankah setelah hujan akan
ada pelangi yang indah?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar